Skip to main content

Rombak Sistem Evaluasi Pendidikan Indonesia!

“Adalah tugas kebodohan untuk belajar agar menjadi pintar.  Adalah tugas kepintaran agar belajar menjadi bijak.” –Prie G.S.1

Luar biasa kawan. Kasus Nyonya Siami dari Surabaya sontak membuat Indonesia terguncang hebat. Betapa tidak, kejujuran sebagai nilai luhur utama seorang terdidik malah diberangus oleh pendidiknya sendiri. Bangsa ini seakan baru sadar tentang adanya dekadensi moral sistemik yang dibuat oleh pemerintahnya. Pemerintah yang menutup mata – yang naif!- yang seakan tak mau tahu masalah yang terjadi dalam prakteknya di lapangan.

Orientasi yang salah

Semua kebobobrokan ini diawali oleh sebuah ujian yang bernama Ujian Nasional (UN). Niat baik pemerintah dalam menstandardisasi pendidikan seluruh indonesia cukuplah patut diapresiasi, mengingat perlu adanya kualikasi tertentu seorang anak untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Setiap negara pun memang seharusnya memiliki sistem evaluasi yang baik, untuk menakar seberapa berhasilnya kegiatan belajar-mengajar di tiap daerahnya.

Namun apa mau dikata, pola evaluasi macam ujian nasional malah merusak tujuan pendidikan dan evaluasi itu sendiri. Status lulus atau tidak lulus yang dihasilkan, yang hanya melihat faktor benar-salah dalam UN, kemudian lambat laun mengacaukan orientasi pendidikan. Tengoklah sekolah saat ini, tujuan mereka hanya satu: meluluskan siswanya atau lulus dari sekolahnya.

Bagi siswa, ketidak-lulusan adalah cap gagal terbesar. Kelulusan yang baik adalah kebanggaan bagi dirinya. Bagi sekolah, persentase kelulusan siswa artinya peringkat sekolah yang lebih baik, apresiasi bagi kepala sekolah dan jajarannya, serta implikasi yang menyatakan bahwa sekolah ini merupakan sekolah yang berkualitas. Begitu pula sebaliknya.

Maka, berubahnya orientasi makin menjauhkan profesi guru dari istilah pendidik, pengajar, bahkan kini hanya sebagai pelatih soal dan pemberi jawaban soal latihan. Siswa pun kini hanya sebagai robot-robot malang yang dipenuhi rumus serta hapalan soal. Orientasi pendidikan rusak parah.

Korban prematurnya sistem

Bagaikan kartu domino, masalah ini kian merembet jauh. Orientasi yang salah pada pendidikan membuat setiap elemen menghalalkan segala cara dalam mencapai standar yang ditetapkan. Setiap siswa berusaha keras belajar di bimbingan belajar (bahkan tidak hanya satu), setiap guru mati-matian melatih siswanya mengerjakan soal. Waktu belajar di sekolah ditingkatkan, dari pagi hingga petang terus saja berlatih, soal ke soal, hari, minggu, dan sepanjang tahun

Pada saat ujian? Jangan ditanya. Saya yakin sebagian sekolah di Indonesia melakukan hal yang sama. Siswa mengumpulkan uang untuk membeli kunci jawaban, entah siapa oknumnya. Berbagai cara kreatif dilakukan anak-anak itu: mencatat di meja, mengkoordinasikan kode-kode tertentu, membagi peran dalam membagi jawaban. Hal ini merupakan inisiatif murni dari tiap anak, tiap sekolah dan daerah dalam mensukseskan tujuan ‘lulus 100%’-nya.

Guru pun tak mau kalah. Banyak pengawas yang bersekongkol dalam memudahkan anak-anaknya bersontek ria. Ada yang hanya membiarkan, ada pula yang sengaja menyuruh bahkan memberikan kunci jawaban yang telah dibuat oleh ‘tim sukses’ sekolah. Oh ya, saya lupa mengatakan bahwa setiap sekolah juga memiliki tim sukses dalam meluluskan semua siswanya. Kepala sekolah juga bermain dengan lobi-lobinya, yang dapat dipastikan cantik dan lincah pada dinas pendidikan terkait.

Ini nyata kawan! Bukan rahasia lagi, saya yakin anda juga mengetahuinya, namun tabu dalam membicarakannya secara terbuka. Saya, kamu, siswa itu, guru-guru dan kepala sekolah yang terhormat adalah korban dari prematurnya sistem evaluasi pendidikan di Indonesia.

Rombak Sistem Pendidikan Sekarang Juga!

Kebusukan sistemik pada pendidikan indonesia ini sudah berlangsung amat sangat lama. Banyak yang gerah, namun tak kunjung dihilangkan mengingat pos anggaran yang begitu besar pada proyek ini. Siapa yang diuntungkan kami tak mau tahu, namun jelas kami rakyat indonesia dirugikan dalam bobroknya sistem ujian nasional

Di negara berkembang seperti Jerman, sistem pendidikan tidak serta merta mematikan seseorang ketika tidak lulus, bahkan sudah diklasifikasikan sejak awal. Setelah lulus sekolah dasar, siswa dihadapkan pada 3 jenis sekolah, yaitu Gymnasium, Realschule atau Berufschule.
Gymnasium diperuntukkan bagi siswa-siswa pandai yang dianggap mampu melanjutkan pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi. Jenjang ini ditempuh mulai dari kelas 7 – 13, dan setelah lulus mereka diberi ijazah yang dikenal sebagai „Abitur“. Jadi sebelum masuk ke perguruan tinggi, seorang siswa menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah selama 13 tahun. Berufschule diperuntukkan bagi siswa-siswa yang langsung dipersiapkan memasuki dunia kerja dan tidak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi. Sedangkan Realschule ada di tengah-tengah keduanya. Kalau dianggap bagus, siswa dari Realschule bisa meneruskan ke Gymnasium untuk mendapatkan Abitur, atau bisa juga langsung memasuki dunia kerja.2
Dengan sistem sebaik ini, maka dipastikan definisi kelulusan akan lebih fair. Setiap siswa sudah dipersiapkan pada bidangnya masing-masing, apakah akademisi, praktisi, atau memiliki kesempatan di keduanya.

Karena itu, seharusnya, pemerintah tidak hanya menggunakan UN sebagai parameter keberhasilan pendidikan di Indonesia. Masih banyak kepintaran-kepintaran lain yang kiranya bisa bermanfaat bagi bangsa namun tidak dapat ditakar oleh alat ukur bernama UN. Maka mengembalikan beberapa porsi kelulusan pada sekolah masing-masing saya pikir akan lebih bijak mengingat sekolah sebagai stakeholder utama yang mengetahui persis performa setiap siswa.

Dan terakhir, secara normatif, saya ingin mengajak anda semua yang membaca artikel ini, untuk mengakhiri tirani pendidikan busuk ini. Kegagalan sistemik seperti ini memiliki potensi kehancuran di kemudian hari ketika tidak diatasi dengan baik. Anak-anak hari ini adalah pemimpin di masa yang akan datang. Jika pemimpin dididik dengan sistem seperti ini, mau jadi apa Indonesia sepuluh, dua puluh, limapuluh, atau seratus tahun mendatang? Kita tidak butuh anak-anak yang sekedar bijak, tapi kita ingin anak yang bisa melompati pilar kepintaran menuju kebijakan.

 Referensi

Comments

  1. jauhkan siswa dari kebusukan sistematik
    agar mereka tak terjauhkan dari jaman modern,,,

    hen tikan itu semua,
    semoga orang" yang seperti itu mndptkn ijabah...

    ReplyDelete

Post a Comment

Comment adalah sebagian dari iman :D

Popular posts from this blog

Bagaimana Bisa - Tiga Pertanyaan untuk Kita dan Semesta

Bagaimana bisa aku bisa menulis rangkuman masa lalu , bila setiap detik yang berlalu menjadi ceritanya sendiri? Tulisanku berkejaran dengan memori yang terus terbentuk, terbentuk, terbentuk, lalu terbentur dengan kecepatan jariku merekam setiap kenangan dalam tulisan. Aku hanya ingat samar samar wajah letih seorang perempuan di taman anjing itu, berjalan menyusuri lorong panjang diantara kedai kopi dan pizza, lalu mendekat memanggilku dari belakang. Hmm, sosok yang familiar, namun terasa asing setelah mungkin dua-tiga tahun mengikuti sepak terjangnya di dunia maya. Apa yang aku bisa ingat? Perawakannya yang tinggi putih dengan kacamata besar, pakaiannya cukup manis melengkapi alis ulat bulu dan bibirnya yang tebal. Sisanya, ingatanku memudar seperti lipstiknya kala itu. Mungkin yang sedikit bisa aku ingat adalah caranya bicara dan mendengarkan. Tentang bagaimana ia percaya bahwa produk Apple lebih superior dibandingkan merek gawai lain, tentang kesulitan tidurnya dan apa akar masalahny

Trade off dan Oportunity cost dalam kehidupan

Hahahahahahaa what a nice function! Sering kali kita, para lelaki, menganggap bahwa wanita itu adalah suatu masalah. yap! Ada yang bilang mereka itu banyak maunya, minta beli ini, minta jemput, minta ditelpon, diisiin pulsa, diajak malming...dan masih terlalu banyak 'tuntutan' lainnya. Wanita itu lemah, harus 24 jam dijaga nonstop! Bahkan ada tipe wanita yang overposessif, sampai2 trima sms dari temen aja harus lapor max 1x24 jam! hmm..gw jadi mikir, dan cukup flashback sama pengalaman pribadi..Ternyata emang setiap cowo mempertimbangkan semua hal untuk menggebet cewe idamannya, nggak cuma faktor intern but also extern. Disinilah muncul hukum ekonomi, "Trade Off" dan "Opportunity Cost". Nggak ada yang lo bisa borong di dunia ini(Walaupun bokap lo muntah duit) Uang bukan segalanya, karena nggak semua permasalahan di dunia ini bisa lo selesaiin dengan duit. seperti yang satu ini: MISAL: Ini surti dan ngatiyem Kita ngomongin 2 cewek diatas, Surti

Get Out of the Model!

Pernah ke hypermart ITC Depok? Kalau belum, cobalah. Naik ke lantai 2, lalu naik eskalator dalam hypermart. Anda akan menemukan keadaan seperti ini di eskalatornya. Sekilas nampak berantakan. Tapi coba lihat lebih dekat What? Chiki? Iya. Cemilan dalam kemasan (entah namanya apa). Ratusan hingga ribuan snack ditumpahkan ditengah, kiri dan kanan eskalator yang sedang berjalan. Terlihat mereka yang menggunakan eskalator excited dan mulai menyentuh berbagai merek sepanjang perjalanan. Sebagian terlihat mengambil dan langsung memakannya.  Menurut saya ini cerdas. Sangat cerdas. Low-cost innovation untuk meningkatkan customer experience yang tepat guna. Hypermart berhasil mempertemukan konsumen primer snack ringan - anak kecil dan remaja - dengan eskalator yang dikategorikan sebagai ruang publik yang menyenangkan (playful) bagi konsumen tersebut. Apakah inovasi harus mahal? Apakah promosi untuk meningkatkan experience harus bermodal ratusan juta-milyaran rupi