Pernahkah teman-teman kehilangan seseorang yang amat berarti? Bisa saja dalam konteks orang tua, adik-kakak, pacar, guru, teman dan segala macam interaksi manusia. Atau ingatkah teman-teman di masa lalu pernah menangis meraung-raung di kamar karena barang yang sangat dicintai ternyata harus tak bisa dipakai lagi, atau lenyap berpindah tangan saat menaiki transportasi mewah negara ini?
Tentunya pernah ya, kita pasti pernah dikecewakan saat kehilangan sesuatu yang kita cintai. Bagaimana menggambarkan rasanya? Waaaah...tidak sesederhana seperti membuat artikel ini. Coba, berapa banyak air mata yang tumpah untuk menyesalinya, kemudian hati pasti jadi cenat-cenut, selalu pengennya galau aja kalo inget. Apalagi nih (misalnya) ada sesuatu yang tiba-tiba mengingatkan. Luar biasa, rumit memang mengatur perasaan, apalagi tentang sebuah kecintaan pada sesuatu.
Oh ya, Kehilangan disini bukan berarti selalu meninggal lho, bisa saja seperti teman yang awalnya dekat kini menjadi musuh, atau putus dari kekasih tercinta. Mungkin juga terkait laptop yang tiba-tiba hang terkena hujan atau baju kesayangan yang mulai kuning menua. Jangan didefinisikan sempit sebuah kata kehilangan, karena kita akan mencoba membahas kata rumit ini dalam tataran makrokosmos. Selamat datang di dunia filsafat, dan apa yang kita bahas disini, saya sebut dengan istilah The Rule of Ownership
The Rule of Ownership artinya aturan kepemilikan. Dalam adat liberalisme (yang juga diterapkan di Indonesia), hak atas kepemilikan individu memang diakui pada semua hal, baik intelektual maupun materialistik. Jelas terlihat batas-batasnya, apa dimiliki oleh siapa. Hal inilah yang menjadi landasan filosofis, mengapa seseorang bisa memiliki sesuatu. Rasa kepemilikan lalu membuka akses kepada rasa kehilangan, jika terjadi sesuatu pada orang/benda yang dimiliki.
Tapi sadarkah teman-teman bahwa rasa memiliki timbul dari interaksi antar manusia, hukum-hukum yang mengaturnya, adalah produk dari manusia itu sendiri. Rasa memiliki dan kehilangan juga merupakan ciptaan dari manusia. Nah, bagaimana jika dikaji dari perspektif semesta? Adakah satu sistem terpadu yang diciptakan dalam kasus ini, yang kemudian bisa menjawab kegalauan kita?
Semesta ini diciptakan ternyata lebih rumit dari apa yang bisa kita bayangkan. Secara teori semesta, timbulnya kepemilikan oleh suatu mahluk merupakan kehilangan atas mahluk yang lain. Mari kita analogikan seperti sebuah makanan. Apel yang kita kunyah hari ini merupakan awal kepemilikan kita. Apel tersebut kita beli dari seorang pedagang buah-buahan di pasar tradisional. Secara simultan, awal kepemilikan kita (saat kita membeli) juga merupakan akhir kepemilikan dari pedagang buah tersebut. Betul? Kemudian begitu pula dengan status kepemilikan si pedagang buah ini berawal dari status kehilangan si pohon apel tersebut.
Sudahkah sistem ini berakhir? tentu tidak kawan. Terbentuknya apel atau bisa kita sebut sebagai awal dari status kepemilikan apel oleh si pohon apel, berasal dari tanah-tanah sekitar yang kehilangan zat-zat hara. Zat-zat ini ditarik keatas oleh akar pohon, dipadukan oleh air dan cahaya, maka terbentuklah zat pati yang terakumulasi dan akhirnya menjadi buah apel. Hal yang ingin ditekankan disini bahwa setiap awal status kepemilikan merupakan awal dari kehilangan pihak yang lain. Ini hukum yang pertama
Kehilangan yang dialami oleh seseorang, ternyata tidak serta merta merugikan dirinya. Ketika kita membeli apel pada pedagang, dalam teori pertama dikatakan bahwa sang pedagang apel pun mengakhiri status kepemilikannya pada buah apel tersebut. Tapi di sisi lain, si pedagang juga mengawali status kepemilikannya terhadap uang yang kita miliki (sehingga kita harus merelakan dompet yang semakin tipis). Begitu pula dengan hilangnya zat-zat hara yang ada dalam tanah. Status kepemilikan tanah terhadap zatnya mungkin hilang, namun ia mendapatkan hal lain dari pohon tersebut seperti daun-daun yang jatuh, oksigen yang terikat pada batang akar, dan semua reaksi kimia tersebut. Sang pohon mendapatkan zat hara, tanahnya juga untuk atas daun dan zat-zat lain. Jelas terlihat ada pertukaran nilai guna disini. Maka hukum kedua adalah setiap awal dari kehilangan juga merupakan awal dari kepemilikan.
Pertanyaan selanjutnya yang mungkin muncul adalah, sebandingkah apa yang hilang dengan apa yang kita dapat? Hukum aksi reaksi newton mengatakan bahwa aksi selalu berbanding lurus dan sama besaran dengan reaksinya. Memang ini teori ciptaan manusia, tapi cukup relevan dan logis. Ketika bicara besaran secara kasar, mungkin apa yang didapat oleh pedagang apel tidak sebanding dengan apel yang ia jual. Ekonomi hanya mampu mengestimasi berapa harga apel, kemudian mengkonversinya kedalam angka-angka yang diejawantahkan dalam lembaran kertas jaminan bernama uang. Tapi kita harus melihat perbandingan ini dalam tataran yang jauh lebih tinggi lagi, yaitu perbandingan manfaat. Mungkin saja uang yang didapat oleh pedagang buah memiliki nilai dibawah manfaat apel, namun ketika uang ini dipakai dan bisa menghidupi anak-anaknya, maka ada manfaat lain yang tak terhitung secara kasat mata. Seandainya harga apel yang lebih tinggi dari seharusnya, kita juga harus berpikir tentang apa manfaat dari vitamin, mineral, dan lainnya yang jika dihitung, maka bisa dipastikan sebanding dengan apa yang kita korbankan. Belum lagi faktor-faktor psikologis seperti kesenangan hati, kebanggaan, rasa kepuasan tentunya menjadi satu kesatuan paket manfaat yang kita miliki. Maka hukum ketiga adalah Segala kehilangan akan dibalas dengan kepemilikan dengan nilai manfaat yang sama secara material.
Diluar konteks teori kepemilikan, adanya sistem perguliran status ini merupakan takdir dari sang pencipta. Segala hal yang ia ciptakan merupakan hak milik mutlak dari-Nya. Maka masihkah kalian bisa bersombong-sombong ria tentang apa yang kalian miliki, padahal kepemilikan tersebut merupakan satu ungkapan semu dalam tataran rendah interaksi manusia? Mungkin istilah yang lebih tepat adalah kepemilikan atas hak meminjam. Barang apapun, hal apapun. Tidak hanya orang tua, pacar, saudara, laptop dan ipad 2, tapi juga anggota tubuh kita dari atas ke bawah hingga luar ke dalam. Kapanpun, kita harus siap meninggalkan status kepemilikan kita dan menggantinya dengan kepemilikan manfaat yang lain. Kalau dibuat quote, ini seperti: "Diberi untuk diambil, dipinjamkan untuk diambil kembali".
Maka hukum pamungkas keempat yang bisa melengkapi ini semua adalah Pada hakikatnya, yang kita miliki selama ini adalah hak untuk meminjam, dan kita tidak pernah tau berapa lama jangka waktu peminjaman tersebut.
Sistem semesta yang diciptakan, lagi lagi, telah menunjukkan pada kita keagungan dari penciptanya. Segala kesempurnaan yang terjadi merupakan sebuah kesengajaan, yang memang diciptakan untuk membuat kita mendapatkan manfaat lebih banyak lagi.
Maka, masihkah teman-teman merasa sedih ketika kehilangan sesuatu/seseorang, sedangkan sistimatika alam telah menunjukkan pada kita keadilannya. Al Qur'an pun telah menegaskan dalam sebuah suratnya yang berbunyi:
Diwajibkan atasmu berperang, padahal perang itu peristiwa yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia baik untukmu; dan boleh jadi pula kamu menyenangi sesuatu, padahal ia buruk untukmu. Dan Allah yang mengetahui sedangkan kamu tidak. Al-Baqarah: 216Mari berbicara kontekstual. Tidak ada yang menyukai perang, begitu pula kehilangan atas sesuatu yang amat sangat dicintai. Namun begitulah hidup, roda terus berputar, dan kita tak pernah tahu kapan hak peminjaman atas sesuatu akan berakhir.
Yang kita bisa persiapkan adalah hati-hati kita. Bersiaplah kehilangan apapun di dunia ini, karena sang pemiliknya bisa mengambil apapun kapanpun ia mau. Pastikan ketika sesuatu itu harus dikembalikan, maka ia kembali pada keadaan yang paling baik, performa yang paling tinggi, dengan nilai guna yang bisa dipertanggung jawabkan.
Dan percayalah, IA jauh lebih mengetahui dari kamu tentang apa yang terbaik untukmu
Wallahu'alam.
Sebuah renungan panjang
tentang kepemilikan dan kehilangan
Ara
nice post! semangat ya ara :D
ReplyDeletekeren! :D
ReplyDeletekeren banget ka >_<
ReplyDeletetulisannya sangat menginspirasi
"Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan kepada Allah jualah kami kembali."
manusia pada dasarnya makhluk langit. yang untuk sementara waktu meminjam jasad badan agar bisa menjalani hidup didunia, nanti bila saatnya tiba akan kembali menjadi makhluk langit saat pinjaman jasad badan diminta lagi sama yang punya.
ReplyDelete