Skip to main content

Posts

Showing posts from June, 2011

Rombak Sistem Evaluasi Pendidikan Indonesia!

“Adalah tugas kebodohan untuk belajar agar menjadi pintar.  Adalah tugas kepintaran agar belajar menjadi bijak.” –Prie G.S. 1 Luar biasa kawan. Kasus Nyonya Siami dari Surabaya sontak membuat Indonesia terguncang hebat. Betapa tidak, kejujuran sebagai nilai luhur utama seorang terdidik malah diberangus oleh pendidiknya sendiri. Bangsa ini seakan baru sadar tentang adanya dekadensi moral sistemik yang dibuat oleh pemerintahnya. Pemerintah yang menutup mata – yang naif!- yang seakan tak mau tahu masalah yang terjadi dalam prakteknya di lapangan. Orientasi yang salah Semua kebobobrokan ini diawali oleh sebuah ujian yang bernama Ujian Nasional (UN). Niat baik pemerintah dalam menstandardisasi pendidikan seluruh indonesia cukuplah patut diapresiasi, mengingat perlu adanya kualikasi tertentu seorang anak untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Setiap negara pun memang seharusnya memiliki sistem evaluasi yang baik, untuk menakar seberapa berhasilnya kegiatan belajar-meng

(lagi-lagi) Sepeda dan Pertanyaan Retorisnya

Rasanya retoris; Kampanye bersepeda ke kampus sudah lama dilakukan banyak orang, baik pihak pemerintah, kampus, bahkan komunitas mahasiswa pencinta sepeda. Tanyalah sembarang mahasiswa, maka tak ada satupun dari mereka yang meragukan 'khasiat' model transportasi ini. Semuanya mengakui bersepeda itu sehat, 'menggowes' itu mengurangi polusi, mencegah global warming. Ya, semua orang tahu akan hal itu. Namun mengapa kegiatan bersepeda di kampus masih tergolong minim? Dan mengapa akhir-akhir ini sepeda menjadi digemari kembali kawula muda Indonesia? Bersepeda itu tidak (dianggap) Keren! Kita harus mengakui satu hal. Bersepeda itu tidak (dianggap) keren. Stigmatisasi yang dilakukan pariwara sepeda motor atau mobil jelas mengalahkan popularitas sepeda sebagai alat transportasi masa kini. Sepeda itu manual dan capek. Jelas berbanding terbalik dengan tren pasar yang semakin otomatis. Mobil/motor gigi otomatis, stander otomatis, lampu otomatis, kemudi otomatis. Harga barang

Penyakit Bernama Konsistensi (Tulisan untuk Media Indonesia, Rubrik Opini -semoga masuk)

Harus diakui, pengadaan Trans Jakarta sebagai solusi kemacetan merupakan salah satu kebijakan terbaik pemerintah DKI Jakarta. Berbagai cacian dan kritik pedas saat pembangunannya 7 tahun lalu (karena menimbulkan macet luar biasa) seakan lenyap tak bersisa. Saat pertama kali mencoba, penulis pun tak henti-hentinya memuji kualitas pelayanan moda transportasi ini. Baik dari bus baru yang nyaman ber-AC, petugas profesional yang menyenangkan, lajur khusus sepanjang 123,35 Km tanpa kemacetan, serta ongkos jalan yang relatif murah untuk berkeliling jakarta. Itulah awal optimisme kami akan masa depan transportasi di Indonesia, transportasi yang nyaman dan menyenangkan. Namun alih-alih meningkatkan kualitas pelayanan, Trans Jakarta hari ini bahkan tidak lebih baik dari dahulu kala. Bus baru yang dahulu prima, kini mulai berkarat dan berdecit. Beberapa AC-nya pun tidak lagi dingin. Lajur khususnya mulai bergelombang dan rusak, entah dimakan waktu atau pejabat terkait.  Petugasnya pun tak sebai

Salah Kaprah Pluralisme

Tak lekas hilang dari ingatan kita, sebuah film yang menyeruak beberapa waktu yang lalu. Film yang menarik 30.000 penonton hanya dalam waktu satu minggu kemunculannya, menghebohkan Indonesia dengan konsep-konsep kontroversial. Judulnya pun tidak biasa: Film Tanda Tanya (?) Sebenarnya, alur ceritanya yang diciptakan Hanung Bramantyo cukup menarik. Realitas konflik antar agama yang terjadi, lika liku kehidupan yang dikontraskan dengan hubungan transedental manusia dengan penciptanya. Secara sinematografi, ini merupakan karya seni anak bangsa yang menakjubkan. Namun dilihat dari sisi agama? Hmmm mari kita bicarakan lebih lanjut. Ide perdamaian yang diusung berasal dari pemikiran tentang pluralitas bangsa Indonesia. Jika multikulturalisme berusaha mencari perbedaan dan menganggapnya sebagai anugerah, pluralisme mencari kesamaan pada tiap-tiap elemen dan berusaha menyatukannya pada tujuan tertentu. Ketika pluralisme diaplikasikan dalam hal kesukuan, adat istiadat, atau budaya tentunya aka

Pembuktian Terbalik

Saat kau merasa bahwa semua waktu yang kau miliki tak bisa menjadi apa-apa, saat kau merasa semua usaha daya dan upaya tak menjadi rupa, saat kau merasa hidupmu sia-sia Karena kau merasa bisa melakukan segalanya TAPI malas. Mampu mengerjakannya sendirian TAPI lebih senang melakukan yang lain. Ingin bekerja TAPI menunda dan akhirnya tak selesai ini saatnya lakukan pembuktian terbalik Jika kau pikir melakukan suatu pekerjaan itu hal mudah, sekarang anggap itu sulit sampai kau berhasil menyelesaikannya Jika kau pikir menepati janji itu mudah, maka pikirkan segala rintangan hingga tuntas benar segalanya Jika kau pikir takdirmu akan baik baik saja, maka camkan dalam otakmu bahwa kau adalah mahluk paling SIAL di dunia sehingga kau akan bekerja lebih keras tidur lebih sedikit melangkah lebih tegar Menatap lebih jauh Berteriak lebih lantang bahkan dengan itu pun hidupmu belum tentu lebih baik tapi yakinlah, karaktermu akan terbentuk centi demi centi, menuju perbaikan -ara, 6/6/11