Inikah Prinsip `Soft Power`
Dikutip dari metroTV.com, Kamis, 2 September 2010 19:04 WIBPenulis: Suryopratomo (Wartawan Senior Metro TV)
SI vis pacem, para bellum. Kalau kita mengharapkan perdamaian, maka kita harus siap untuk berperang. Ungkapan Latin mengingatkan kepada kita untuk tidak boleh lengah, apalagi menjadi bangsa yang lemah. Kita harus memersiapkan diri untuk menjadi masyarakat yang kuat, agar tidak mudah diserang oleh musuh. Kita menciptakan perdamaian melalui kekuatan.
Terutama para pimpinan militer, para jenderal, seharusnya memahami prinsip ini. Kita tidak harus menjadi sok jagoan, tetapi juga jangan mau untuk diinjak-injak martabat kita oleh bangsa lain. Soft power bukan berarti kita harus lembek, tetapi tegas untuk sesuatu yang memang sudah menjadi prinsip kita.
Berkaitan dengan hubungan kita yang sedang memanas dengan Malaysia sekarang ini, kita memang tidak harus mengangkat senjata dengan negara jiran tersebut. Tetapi kita harus menunjukkan ketidaksukaan kita atas perlakuan yang tidak pantas dari Polis Diraja Malaysia terhadap tiga petugas Dinas Kelautan dan Perikanan kita. Mereka bukan hanya menangkap di wilayah perairan kita, tetapi dengan melepaskan tembakan ke udara, mereka sudah menunjukkan sikap permusuhan.
Setelah itu pihak Polis Diraja Malaysia juga tidak mau memedulikan penjelasan tiga petugas DKP yang sedang menjalankan tugas sebagai pejabat negara. Mereka diminta melepaskan pakaian dinas yang jelas-jelas tertera nama Indonesia, untuk kemudian dipaksa diganti dengan baju tahanan dan dengan posisi tangan diborgol.
Sungguh aneh jika pangkal persoalan hubungan yang memanas ini tidak dijadikan landasan penentuan sikap dari Pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan persoalan dengan Malaysia. Bahkan lebih ironis lagi, pimpinan nasional kita malah menerima pendapat pihak Malaysia bahwa insiden tanggal 13 Agustus tersebut terjadi di wilayah yang masih dipersengketakan.
Seperti kita lupa bahwa sejak tahun 1962, Ir Djuanda sudah memerjuangkan Indonesia sebagai negara kepulauan. Indonesia adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan perjuangan Djuanda itu diterima oleh dunia internasional. Dengan dasar itu kita seharusnya lebih percaya diri untuk mengklaim wilayah kedaulatan kita, bukan justru kita menjadi tidak percaya diri
bahwa itu adalah wilayah kita.
Kita sungguh merasa sedih apabila sikap lembek itu lebih didasarkan oleh persoalan ekonomi semata. Kesannya, kita rela menggadaikan kedaulatan, menggadaikan harga diri, demi persoalan ekonomi semata. Apalagi kemudian hal itu hanya dikaitkan dengan persoalan 2 juta tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Malaysia. Mereka yang selama ini lebih banyak bekerja menjadi pegawai perkebunan, buruh, atau pembantu rumah tangga.
Kita tidak boleh lupa bahwa keberadaan TKI kita di sana bukan semata-mata untuk mencari pekerjaan. Di masa Orde Baru, Pemerintah Malaysia-lah yang meminta kepada Presiden Soeharto untuk mengirimkan TKI ke sana. Tujuannya bukan sekadar untuk membantu bekerja di perkebunan di Malaysia, tetapi untuk memerkuat keberadaan Melayu di Malaysia agar UMNO bisa memertahankan kekuasaan di negeri itu.
Kalau sekarang Malaysia lupa akan kesejarahan itu, maka seharusnya kita punya harga diri untuk menarik pulang para TKI kita. Tidak perlu sekaligus, tetapi seharusnya pemerintah membuat program untuk secara bertahap membuka lapangan pekerjaan yang memungkinkan mereka untuk bisa bekerja di negara sendiri.
Apakah mungkin kita melakukan itu? Dengan luas lahan milik kita yang mencapai 143 juta hektare, kita seharusnya bisa menghidupi warganya sendiri. Kalau penataan ruang bisa dilakukan dengan baik, maka kita bisa membangun sebuah industri berbasis sumber daya alam yang kokoh. Para TKI dari Malaysia tidak akan merasa canggung ketika kita pekerjakan di perkebunan seperti tempat mereka bekerja di Malaysia.
Percayalah, penarikan kembali TKI dari Malaysia lebih banyak merepotkan negeri jiran tersebut. Ketika kita memutuskan untuk menghentikan sementara pengiriman TKI ke Malaysia, banyak kebun sawit di Malaysia yang telantar. Malaysia sangat membutuhkan ketelatenan TKI untuk merawat kebun sawit mereka. Jadi tidak benar apabila kita mengemis pekerjaan kepada Malaysia. Mereka sangat membutuhkan TKI yang paham bagaimana cara bercocok tanam yang benar.
Kalau saja pendekatan soft power yang ingin disampaikan Presiden di Markas Besar TNI di Cilangkap, kemarin, seharusnya penekanannya ditujukan kepada ketidaksukaan kita terhadap perilaku aparat Malaysia yang mengaku sebagai bangsa yang serumpun dan tetangga yang bersahabat baik. Kalau PM Malaysia Datuk Seri Najib Razak ataupun Menlu Malaysia Anifah Aman bisa berkata keras menyusul aksi demo di Indonesia, seharusnya pemimpin kita pun tidak usah takut untuk berkata tegas. Kita toh bukan menyatakan perang, tetapi kita menyampaikan bahwa perlakuan Polis Diraja Malaysia kepada aparat kita tidak bisa kita terima.
Oleh karena Presiden berpidato di Mabes TNI seharusnya Presiden menyampaikan pesan yang lebih jelas untuk menjaga kehormatan bangsa. Kesempatan itu seharusnya dipakai Presiden untuk menegaskan rencana pemerintah memerkuat postur TNI. Kita sampaikan secara terbuka rencana kita untuk memerbaiki persenjataan TNI agar bisa menjaga kedaulatan negara.
Lebih dari itu Presiden seharusnya menyampaikan juga rencana pemerintah untuk menarik pulang secara bertahap TKI dari Malaysia. Dalam periode berapa tahun ke depan kita harus bisa menarik pulang 2 juta TKI yang ada di Malaysia untuk bekerja di negeri sendiri.
Pesan seperti itu bukan hanya menunjukkan kepribadian kita yang lebih tegas. Lebih dari itu mengangkat moral para petugas yang bekerja di daerah-daerah terluar, termasuk prajurit TNI. Dengan sikap yang lembek dan cenderung malah menyalahkan aparat sendiri, dikhawatirkan mereka kelak akan masa bodoh dengan apa yang terjadi dan mengganggu kedaulatan negara kita.
Dengan waktu hampir dua minggu sejak insiden terjadi sampai pidato pernyataan sikap disampaikan kemarin, seharusnya bisa dirumuskan pidato yang lebih konseptual. Bukan sekadar pidato yang tidak mencerminkan sosok Mabes TNI yang seharusnya menunjukkan sebuah ketegasan.
Si vis pacem, para bellum, itulah seharusnya prinsip yang kita jalankan. Soft power yang kita kembangkan harus didasarkan itu, karena kita tidak mau menjadi bangsa yang bisa seenaknya diinjak-injak.
____________________________________________________________________________
artikel yang bagus untuk menyadarkan kita semua. semoga terinspirasi
Comments
Post a Comment
Comment adalah sebagian dari iman :D