Skip to main content

#2: Nilai sebuah Cakwe #1day1article

(tulisan ini merupakan wujud komitmen gw untuk menulis satu tulisan setiap hari. Gerakan pribadi #1day1article untuk membiasakan keterampilan menulis, sarana berbagi idealisme dan inspirasi, demi civil society yang lebih baik) 


Gerimis petang ini sungguh bermanfaat; Udara bersih tak berdebu, namun mobilitas tak terhalang oleh deras hujan. Situasi ini menyenangkan setelah memacu mobil dengan kecepatan tinggi. “Gila Dasar…” kata adikku, Dinar. “Presentasi jam setengah 4 kok berangkat 10 menit sebelumnya”. Hehe, mau diapain lagi, kebiasaan procrast ini harus segera dibenahi memang.
Presentasi selesai, keluar dari ruangan. Aku pun bersalaman dengan inspiring-dosen-gaul Pak Adi Zakaria, konsolidasi tim tentang jadwal brainstorming pembuatan paper, mampir ke makara (cari sinyal), trus langsung menuju kosan. Mau ngobrol sama luqman syauqi, Kepala Kompartemen Humas dan Medianya HIPMI UI. Asik nih, gaul sama anak IT dan ngobrolin masa depan organisasi. Lagi-lagi, passion itu bikin hidup lebih hidup!
Namun tulisan ini tak membahas presentasi MPH tentang kulit buatan, ide ide cemerlang luqman,  atau bagaimana rasa sate ayam yang sepertinya-sedikit-agak-kurang-enak itu. Aku lebih suka membahas tukang cakwe yang mangkal di depan pokus wanita. Seorang pria, 35-40 tahunan, dengan wajan berasap terkepul dan cakwe matang yang sudah ditiriskan. Aku yang tiba-tiba kangen jajanan putih-merah, merogoh kantong, dan segera ambil langkah maju jalan.
“Bang beli dong, hehehe”
“Mau beli berapa, dik?” tanya abangnya ramah
“(bingung) nggg….berapa ya?“ Ujarku bingung. Ara kecil nampaknya lebih pintar dalam menentukan jumlah barang yang dibeli; semakin besar semakin bodoh rupanya. *sigh
“5000 deh bang”
“Oh boleh dek. Ini dibungkus kan ya? Sambelnya mau dipisah?”
“Nggak usah bang, dicampur aja. Mau dimakan sambil jalan”
 “Oh, mau makan sendiri? Gimana kalau belinya 2000 atau 3000 aja? Takut nggak abis, soalnya lima ribu itu kebanyakan. Sayang kalo dibuang, nggak tega sama makanannya.” Jawab tukang cakwe itu
DEGH…Subhanallah..
Ada kehangatan menyeruak dalam hati; Seorang pedagang cakwe, yang biasanya berorientasi pada profit semata, kini berbeda. Pedagang pinggiran yang biasanya menurunkan kualitas, memakai bahan berbahaya, membohongi pelanggan, kini berbicara nilai-nilai kemubaziran. Menolak uang! Sekali lagi menolak uang demi kebermanfaatan setiap inchi cakwenya.
Oh mungkin ia takut pada dewi sri, sang dewi panen yang menangis kala makanan terbuang; Atau ia percaya tahayul tentang makanan sisa; atau ia terlalu angkuh untuk membiarkan cakwenya tidak termakan
Atau ia hanya berharap suatu hal sederhana, sebuah ketulusan, keteguhan hati. Nilai-nilai lama yang tlah lama dilupakan. Bahwa makanan adalah rahmat, dan kita harus bersyukur dengan menghabiskan apa yang kita ambil. Ia tak ingin berdosa dengan membiarkanku membeli terlalu banyak; Sedikit, sesuai porsimu saja. Kurang tak baik, berlebih pun tidak
Aku termenung cukup lama, mengambil kembalian, kemudian mengembalikannya karena kelebihan seribu rupiah. Ada kehangatan dalam matanya, ada cinta dalam setiap bulir tepung, ada harapan dalam kepulan wajannya, ada mimpi yang terkandung di pedas air cabainya
Nilai adalah kita; Tradisi adalah identitas. Hanya dengan mengingatnya, kita bisa mengenal kembali jati diri setelah lama hilang di hutan penuh binatang egois dan pragmatis ini. Semoga..

Comments

  1. Subhanallah.. Keren! Tapi kenapa belinya cuma buat sendiri? mending beli banyak terus dimakan bareng temen di kosan :P

    ReplyDelete
  2. @Neti: Hahaha temen di kosan belum tentu udah pulang :D Atau mungkin neti mau? gw traktir cakwe yuk! hehe

    ReplyDelete
  3. Asik. Haha. boleh2 traktir cakwe, tapi dari abang yang diceritain di post ini ya :P
    Anw, sekosan sama Luqman? Dia temen SMA gw *gapentingjugasih.
    Di Kukel ya itu?

    ReplyDelete

Post a Comment

Comment adalah sebagian dari iman :D

Popular posts from this blog

Bagaimana Bisa - Tiga Pertanyaan untuk Kita dan Semesta

Bagaimana bisa aku bisa menulis rangkuman masa lalu , bila setiap detik yang berlalu menjadi ceritanya sendiri? Tulisanku berkejaran dengan memori yang terus terbentuk, terbentuk, terbentuk, lalu terbentur dengan kecepatan jariku merekam setiap kenangan dalam tulisan. Aku hanya ingat samar samar wajah letih seorang perempuan di taman anjing itu, berjalan menyusuri lorong panjang diantara kedai kopi dan pizza, lalu mendekat memanggilku dari belakang. Hmm, sosok yang familiar, namun terasa asing setelah mungkin dua-tiga tahun mengikuti sepak terjangnya di dunia maya. Apa yang aku bisa ingat? Perawakannya yang tinggi putih dengan kacamata besar, pakaiannya cukup manis melengkapi alis ulat bulu dan bibirnya yang tebal. Sisanya, ingatanku memudar seperti lipstiknya kala itu. Mungkin yang sedikit bisa aku ingat adalah caranya bicara dan mendengarkan. Tentang bagaimana ia percaya bahwa produk Apple lebih superior dibandingkan merek gawai lain, tentang kesulitan tidurnya dan apa akar masalahny

Trade off dan Oportunity cost dalam kehidupan

Hahahahahahaa what a nice function! Sering kali kita, para lelaki, menganggap bahwa wanita itu adalah suatu masalah. yap! Ada yang bilang mereka itu banyak maunya, minta beli ini, minta jemput, minta ditelpon, diisiin pulsa, diajak malming...dan masih terlalu banyak 'tuntutan' lainnya. Wanita itu lemah, harus 24 jam dijaga nonstop! Bahkan ada tipe wanita yang overposessif, sampai2 trima sms dari temen aja harus lapor max 1x24 jam! hmm..gw jadi mikir, dan cukup flashback sama pengalaman pribadi..Ternyata emang setiap cowo mempertimbangkan semua hal untuk menggebet cewe idamannya, nggak cuma faktor intern but also extern. Disinilah muncul hukum ekonomi, "Trade Off" dan "Opportunity Cost". Nggak ada yang lo bisa borong di dunia ini(Walaupun bokap lo muntah duit) Uang bukan segalanya, karena nggak semua permasalahan di dunia ini bisa lo selesaiin dengan duit. seperti yang satu ini: MISAL: Ini surti dan ngatiyem Kita ngomongin 2 cewek diatas, Surti

Get Out of the Model!

Pernah ke hypermart ITC Depok? Kalau belum, cobalah. Naik ke lantai 2, lalu naik eskalator dalam hypermart. Anda akan menemukan keadaan seperti ini di eskalatornya. Sekilas nampak berantakan. Tapi coba lihat lebih dekat What? Chiki? Iya. Cemilan dalam kemasan (entah namanya apa). Ratusan hingga ribuan snack ditumpahkan ditengah, kiri dan kanan eskalator yang sedang berjalan. Terlihat mereka yang menggunakan eskalator excited dan mulai menyentuh berbagai merek sepanjang perjalanan. Sebagian terlihat mengambil dan langsung memakannya.  Menurut saya ini cerdas. Sangat cerdas. Low-cost innovation untuk meningkatkan customer experience yang tepat guna. Hypermart berhasil mempertemukan konsumen primer snack ringan - anak kecil dan remaja - dengan eskalator yang dikategorikan sebagai ruang publik yang menyenangkan (playful) bagi konsumen tersebut. Apakah inovasi harus mahal? Apakah promosi untuk meningkatkan experience harus bermodal ratusan juta-milyaran rupi