Singkat saja. Sudah malam, sudah lewat jam 12. Ini hutang tulisan kemarin harusnya. Maaf ya pemirsa
Tulisan ini dipersembahkan untuk seorang mbak berjilbab, pengendara motor mio, pelanggar lalu lintas yang menganggap dirinya benar.
Here it is
Kamis lalu, setelah buka puasa bersama HIPMI Jaya, gue menyempatkan diri bersilaturahmi bersama teman-teman SMP 236 Jakarta. Berhubung waktu buka puasa bersama nggak bisa hadir - atau tepatnya lupa dateng (duh maaf teman2), akhirnya gue bela-belain deh dateng ke futsal city raden inten, jakarta.
Dari pacific place, stasiun manggarai, akhirnya sampai di stasiun cakung tempat gue menitipkan motor. Keluar dari stasiun kemudian jalan kearah pondok kopi menyebrangi rel
Sore itu sekitar jam 8 malam, situasi lalu lintas masih tersendat. Kemacetan sepanjang 10-15 mobil sebelum palang kereta api pun terlihat. gue berjalan dengan perlahan di kanan jalan.
Namun terlihat rombongan pelanggar lalu lintas yang melawan arah disana. Mencoba menerobos meski sudah tahu macet dan sulit untuk lewat. Ya, jalur ini memang seringkali diterobos oleh mereka yang tidak mau memutar jauh. Para pengendara motor ini rela mempertaruhkan harga diri dan keselamatannya untuk jarak putar 100 meter. Kebiasaan, menjadi jalur yang biasa untuk diterobos. Yasudahlah, sudah biasa.
Yang pernah merasakan boncengan motor gue pasti tau gimana gue memperlakukan mereka. No exception, minggir! Gue ada di jalan yang benar dan akan lurus aja tanpa peduli ada mereka. kalo lo mau lewat, ambil trotoar atau bahu jalan. Tradisi keras bawaan bokap gini nih. Jadi polisi dadakan.
Lha kok dilalah ditengah motor yang gue 'tertibkan', ada seorang mbak mbak berusia 20an tahun, tetep ngeyel nggak mau minggir. Mungkin takut masuk bahu jalan, tapi nggak takut mati ngelawan arus
Gue pun keukeuh. Berhenti didepannya, melepas helm, kemudian tersenyum.
Tiba tiba
Mbak berjilbab tersebut keki. Dia nyuruh gue minggir.
"Mas, situ dong, saya mau lewat" menunjuk jalan tengah yang lengang dengan bibirnya.
Gue tertawa terbahak-bahak
"Ngerti jalan nggak mbak?" sindir gue, dalem.
Mbak tersebut masih nggak tau malu. Melototin gue, ngomel ngomel sesuatu yang tersaru sama bunyi desing kendaraan bermotor
Tawa gue makin deras.
beberapa detik kemudian, menghindari motor belakang tersendat, gue pun mengalah. Berjalan perlahan ke tengah sembari berkata
"Besok lagi belajar ya mbak, biar ngerti aturan jalan."
(pake kerudung buat nutupin kepala yang nggak ada otaknya ya? - dalam hati)
Motor gue pun melaju. Menyebrangi rel, menuju banjir kanal timur
* * * * *
Sahabat saya yang baik hatinya *tsah*
Banyak dari kita yang tidak sadar membenarkan kesalahan. Penulis pun sama. Membenarkan kesalahan yang dianggap sudah umum dilakukan.
Menyogok polisi, lumrah lah. Tidak mengenakan helm, yasudahlah. Membeli DVD bajakan, biarinlah.
Sudah biasa.
Ah semua orang juga gitu. Nggak apa-apa lah, sekali ini.
Lebih parahnya lagi saat sudah biasa melakukan kesalahan, kemudian merasa benar diatas kesalahan yang dilakukan.
Gue nggak bilang kalo gue gak pernah lewat jalan itu. Gue pernah bro. Tiap malem kalo kosong gw pasti lewat situ. Tapi kalo ada pengendara yang sah lewat, gue pasti minggir sebisa mungkin, kalo perlu berhenti. Kalo perlu naik trotoar. Karena gue sadar, gue salah. Setidaknya kesalahan gue nggak mengganggu lo.
Nah ini sudah menyerobot jalan, lalu menghardik pengguna yang sah. Ini keterlaluan. Dimana logikanya? Gue nggak paham sih.
Orang yang salah, dan sadar bahwa dirinya salah, itu masih bisa dimaklumi.
Orang yang salah, dan tidak sadar bahwa dirinya salah - terlebih merasa benar? Ini yang perlu dibantai!
Dan gue pikir terlalu banyak orang tipe ini di jakarta. Salah dan merasa benar. Merasa benar karena biasa.
Pedagang kaki lima, preman, calo, hakim, polisi sampai korporasi, pejabat negara, presiden, mahasiswa...
Apa kesimpulannya?
Satu, kesalahan yang dilakukan banyak orang (menjadi kebiasaan) tidak semata-mata menjadi kebenaran! Aturan tetap aturan, dan kita sebagai warga negara wajib mematuhinya.
Dua, Setidaknya kalaupun kita melakukan kesalahan, kita tahu bahwa hal itu salah, dan sebisa mungkin tahu diri menyikapi kesalahan tersebut. Bukan malah merasa benar dan paling benar.
Tiga, membiasakan kesalahan dan menganggap kesalahan sebuah hal biasa itu banyak terjadi. Apakah ada diantara aktifitas harian kita? Yuk evaluasi diri masing-masing.
dan Empat, semoga mbak yang itu sadar - sebelum disadarkan Tuhan melalui cara-cara yang 'sedikit' menyakitkan
Sekian, Habis!
Tulisan ini dipersembahkan untuk seorang mbak berjilbab, pengendara motor mio, pelanggar lalu lintas yang menganggap dirinya benar.
Here it is
Kamis lalu, setelah buka puasa bersama HIPMI Jaya, gue menyempatkan diri bersilaturahmi bersama teman-teman SMP 236 Jakarta. Berhubung waktu buka puasa bersama nggak bisa hadir - atau tepatnya lupa dateng (duh maaf teman2), akhirnya gue bela-belain deh dateng ke futsal city raden inten, jakarta.
Dari pacific place, stasiun manggarai, akhirnya sampai di stasiun cakung tempat gue menitipkan motor. Keluar dari stasiun kemudian jalan kearah pondok kopi menyebrangi rel
Sore itu sekitar jam 8 malam, situasi lalu lintas masih tersendat. Kemacetan sepanjang 10-15 mobil sebelum palang kereta api pun terlihat. gue berjalan dengan perlahan di kanan jalan.
Namun terlihat rombongan pelanggar lalu lintas yang melawan arah disana. Mencoba menerobos meski sudah tahu macet dan sulit untuk lewat. Ya, jalur ini memang seringkali diterobos oleh mereka yang tidak mau memutar jauh. Para pengendara motor ini rela mempertaruhkan harga diri dan keselamatannya untuk jarak putar 100 meter. Kebiasaan, menjadi jalur yang biasa untuk diterobos. Yasudahlah, sudah biasa.
Yang pernah merasakan boncengan motor gue pasti tau gimana gue memperlakukan mereka. No exception, minggir! Gue ada di jalan yang benar dan akan lurus aja tanpa peduli ada mereka. kalo lo mau lewat, ambil trotoar atau bahu jalan. Tradisi keras bawaan bokap gini nih. Jadi polisi dadakan.
Lha kok dilalah ditengah motor yang gue 'tertibkan', ada seorang mbak mbak berusia 20an tahun, tetep ngeyel nggak mau minggir. Mungkin takut masuk bahu jalan, tapi nggak takut mati ngelawan arus
Gue pun keukeuh. Berhenti didepannya, melepas helm, kemudian tersenyum.
Tiba tiba
Mbak berjilbab tersebut keki. Dia nyuruh gue minggir.
"Mas, situ dong, saya mau lewat" menunjuk jalan tengah yang lengang dengan bibirnya.
Gue tertawa terbahak-bahak
"Ngerti jalan nggak mbak?" sindir gue, dalem.
Mbak tersebut masih nggak tau malu. Melototin gue, ngomel ngomel sesuatu yang tersaru sama bunyi desing kendaraan bermotor
Tawa gue makin deras.
beberapa detik kemudian, menghindari motor belakang tersendat, gue pun mengalah. Berjalan perlahan ke tengah sembari berkata
"Besok lagi belajar ya mbak, biar ngerti aturan jalan."
(pake kerudung buat nutupin kepala yang nggak ada otaknya ya? - dalam hati)
Motor gue pun melaju. Menyebrangi rel, menuju banjir kanal timur
* * * * *
Sahabat saya yang baik hatinya *tsah*
Banyak dari kita yang tidak sadar membenarkan kesalahan. Penulis pun sama. Membenarkan kesalahan yang dianggap sudah umum dilakukan.
Menyogok polisi, lumrah lah. Tidak mengenakan helm, yasudahlah. Membeli DVD bajakan, biarinlah.
Sudah biasa.
Ah semua orang juga gitu. Nggak apa-apa lah, sekali ini.
Lebih parahnya lagi saat sudah biasa melakukan kesalahan, kemudian merasa benar diatas kesalahan yang dilakukan.
Gue nggak bilang kalo gue gak pernah lewat jalan itu. Gue pernah bro. Tiap malem kalo kosong gw pasti lewat situ. Tapi kalo ada pengendara yang sah lewat, gue pasti minggir sebisa mungkin, kalo perlu berhenti. Kalo perlu naik trotoar. Karena gue sadar, gue salah. Setidaknya kesalahan gue nggak mengganggu lo.
Nah ini sudah menyerobot jalan, lalu menghardik pengguna yang sah. Ini keterlaluan. Dimana logikanya? Gue nggak paham sih.
Orang yang salah, dan tidak sadar bahwa dirinya salah - terlebih merasa benar? Ini yang perlu dibantai!
Dan gue pikir terlalu banyak orang tipe ini di jakarta. Salah dan merasa benar. Merasa benar karena biasa.
Pedagang kaki lima, preman, calo, hakim, polisi sampai korporasi, pejabat negara, presiden, mahasiswa...
Apa kesimpulannya?
Satu, kesalahan yang dilakukan banyak orang (menjadi kebiasaan) tidak semata-mata menjadi kebenaran! Aturan tetap aturan, dan kita sebagai warga negara wajib mematuhinya.
Dua, Setidaknya kalaupun kita melakukan kesalahan, kita tahu bahwa hal itu salah, dan sebisa mungkin tahu diri menyikapi kesalahan tersebut. Bukan malah merasa benar dan paling benar.
Tiga, membiasakan kesalahan dan menganggap kesalahan sebuah hal biasa itu banyak terjadi. Apakah ada diantara aktifitas harian kita? Yuk evaluasi diri masing-masing.
dan Empat, semoga mbak yang itu sadar - sebelum disadarkan Tuhan melalui cara-cara yang 'sedikit' menyakitkan
Sekian, Habis!
banyak sih yang bgitu ara,mrasa benar padahal salah...
ReplyDeletehuff..yang bikin malu jilbabnya itu loh*brasa tersindir juga nih kan pake jilbab juga akunya :D
tapi dari situ bisa diambil plajaran bahwa kita tidak boleh seperti itu..