Skip to main content

Asal Usul Voucher Discount



Kemunculan voucher dalam industri retail bukanlah hal yang mewah ataupun spesial di tengah persaingan bisnis yang makin ketat. Namun mengetahui asal usul voucher cukup menarik untuk kita ketahui. Dan siapa sangka bahwa kemunculan voucher merupakan pengembangan dari secarik kupon di tahun 1800-an. Adalah Coca Cola yang pertama kali merilis lembaran kupon komersial pada tahun 1887. Kupon itu untuk ditukar dengan sebotol sampel Coca Cola gratis. Delapan tahun kemudian, Coca Cola mengklaim bahwa produknya terjual dan dikonsumsi di setiap negara bagian di Amerika Serikat.

Kupon tersebut lahir dari pemikiran pebisnis asal Atlanta, Asa Candler. Penemuan Candler ini mengubah Coca Cola dari bisnis yang tidak diperhitungkan sebelumnya di industri minuman ringan menjadi perusahaan yang memimpin pasar. Tulisan tangannya terdapat pada kupon itu. Awalnya kupon itu menawarkan Coca Cola gratis lalu beranjak menjadi voucher diskon yang menawarkan harga murah untuk memperoleh minuman soda itu seharga 5 sen. Di antara tahun 1894 dan 1913, diperkirakan satu dari sembilan orang Amerika telah menerima Coca Cola gratis, dengan total 8,5 juta minuman.

Pada awal 1900-an, kupon berkembang menjadi voucher diskon dan mewabah menjadi strategi marketing yang terbukti bisa meningkatkan penjualan. Kehadiran voucher diskon ini  kala itu sangat membantu warga Amerika pada saat terjadi Great Depression, yang menjadi masa terkelam perekonomian Amerika Serikat dalam sejarah hidupnya. Keberadaan voucher diskon tradisional – di mana seorang kustomer harus mendatangi suatu tempat untuk memperolehnya -, semakin menyusut pada awal 1990-an. Tepatnya pada tahun 1992, tercatat 7,9 milyar program diskon dilakukan melalui kupon di Amerika Serikat. Penyusutan ini akibat keberadaan voucher diskon elektronik. Seperti kita ketahui saat ini kupon diskon elektronik sedang mengalami kepopulerannya terutama di Indonesia. Di negeri asalnya, Amerika Serikat, masa kejayaan voucher diskon elektronik terjadi pada awal tahun 2000-an.

Seperti apa masa depan voucher diskon elektronik belum bisa dipastikan. Tapi tampaknya akan mengalami titik jenuhnya juga, seiring perkembangan teknologi komunikasi terkini yang memungkinkan seorang customer membeli kebutuhannya hanya dengan scanning kode khusus yang terdapat di ponsel cerdasnya.

*Berbagai sumber
http://the-marketeers.com/archives/asal-usul-voucher-diskon.html#.UyKUGqI9Omw

Comments

Popular posts from this blog

Film Soekarno: Mengecewakan

Tulisan ini penuh dengan opini personal dan subjektifitas. Silakan berdiskusi. Karena saya kecewa berat dengan Film ini. Mungkin Actingnya Ario Bayu cukup baik. Mukanya sangat mirip walau perut buncitnya tidak dikecilkan terlebih dahulu. Sorot matanya sebagai Soekarno tajam, tapi layu; Terlalu sering menunduk dan menunjukkan inferioritas seorang bapak bangsa Mungkin actingnya lukman sardi, maudy Koesnaidi, Sudjiwo Tedjo, pemeran bung kecil, sangat sangat baik. Top class actor & actress. Ferry salim jelek, kaku sekali dia menjadi orang jepang. Mungkin kolosalitas film ini cukup baik. Penggambaran romusha, perlakuan pelacur di barak kamp tentara jepang, ledakan gudang minyak - yang sebenarnya tidak penting, pidato yang disambut teriakan ratusan orang, pemberontakan akibat 'salah arah kiblat', darah dan tembakan dimana-mana, penculikan rengasdengklok yang buruk, revolusi tak jadi jakarta anti klimaks. Tetapi sebagai Soekarno-ist, yang membaca pemikirannya, mendenga...

Middle Management (Managers): Aset atau beban?

Seringkali middle management dianggap sebagai beban oleh banyak perusahaan dengan berbagai alasan. Gaji yang diberikan cukup besar, namun tidak mengerjakan pekerjaan teknis layaknya staff biasa - dimana bertambahnya man hour tidak melulu berbanding lurus dengan produktifitas. Pekerjaan koordinasi dan 'pembawa pesan' dari atasan kerap menjadi hal rutin saja. Sekadar bemper untuk menyampaikan keinginan bos, sekaligus pendengar keluh kesah tim atas ekspektasi perusahaan yang jauh diatas current capacity. Kuasa dan ruang main nya pun terbatas. Ia dianggap atasan bagi timnya, namun tidak cukup kuat untuk mempengaruhi kemana perusahaan bergerak. “I don’t think you want a management structure that’s just managers managing managers, managing managers, managing managers, managing the people who are doing the work.” Begitu kata Zuckerberg yang diamini oleh Elon Musk. Tidak heran pada masa-masa paceklik, middle management lah sasaran utama efisiensi. Saya beberapa kali berdiskusi, "A...

Jombang dan Rangga Kawin! Sebuah pesan akan kekhawatiran.

Sabtu kemarin, sahabat saya sejak masuk kuliah menikah. Jombang Santani Khairen. Pria nyentrik dari padang ini akhirnya laku juga di pasar bebas, dibeli oleh wanita beruntung (atau bisa jadi sial) berdarah sunda. Keduanya sah secara agama sejak Sabtu, 8 Juli 2017 jam 8.30an lewat sedikit di Jonggol, Kabupaten Bogor. Kiri ke Kanan: Mertua, Jombang, Istrinya, Adiknya Jombang, Ibunya (ketutup) Tabiatnya nggak berubah. Di hari paling seriusnya selama dia hidup, dia masih aja cengar cengir non wibawa. Masih dengan sikap hormat dari pelaminan tatkala melihat saya hadir, masih tawa khasnya saat menutup pernikahan dengan doa. Entah dosa apa yang pernah dilakukan istrinya, J.S. Khairen - panggilan pena nya - adalah pengantin paling tidak serius yang pernah saya lihat. Lu gak bisa serius dikit apa, jom?! Doa itu woi! Penulis berbagai buku best seller terbitan gramedia dan mizan ini merupakan satu dari sedikit "teman tidur" saya di masa kuliah. We've been through a...