DARURAT KEPEMIMPINAN KRISIS DI INDONESIA
Oleh: Aditya Rian
(ara), Chief Marketing Officer Pemimpin.ID
“I feel leaderless”
Ucapan tersebut diucapkan sambil berkaca-kaca oleh Ainun Najib, pendiri
gerakan #KawalCovid19 – atau virus yang populer disebut corona - dalam sesi interview
bersama @pemimpin.indonesia Hari Rabu lalu. Jelas terdengar nada gemas berbalut
getir, jauh lebih getir daripada saat ia mempromotori kawalpemilu dan kawalAPBD
beberapa tahun silam.
Selama hampir satu jam beliau mengutarakan kegelisahannya tentang bahaya
virus corona; tentang data dan tren yang menggambarkan berbagai kejadian fatal
di korea selatan dan italia, tentang kapasitas rumah sakit Indonesia yang tak
akan mampu melayani puncak epidemi, hingga begitu lambatnya pergerakan
pemerintah merespons ancaman ini. “Saya sudah capek mengingatkan presiden,
menteri dan jajarannya. Tidak ada ketegasan dalam merespons kasus ini”.
Lalu saya menyadari, beliau tidak getir. Ia kecewa. Betul betul kecewa.
* * *
Mas ainun
tidak kecewa sendirian. Ia bersama dengan jutaan masyarakat indonesia yang berharap
dan cemas menunggu tindakan tegas pemerintah. Disaat Italia menutup total
perbatasan dan pergerakan warga, Korea Selatan melakukan tes secara masif,
Indonesia justru bersikap ignorant sembari melempar berbagai pernyataan
konyol yang kontraproduktif. Publik disuguhkan dengan konflik antar
kementerian, saling lempar dan rebut wewenang antar pusat dan daerah. Hasilnya?
Tingkat kematian di Indonesia akibat corona saat ini menjadi salah satu yang
tertinggi di dunia.
Melihat
tidak adanya sense of crisis, lambatnya kecepatan pengambilan keputusan hingga
lemahnya koordinasi, maka ijinkan saya beropini bahwa kini Indonesia mengalami darurat
kepemimpinan krisis nasional.
MENGENAL
KRISIS DAN KEPEMIMPINAN KRISIS
Merangkum pemikiran Joseph W. Pfeifer - pengajar senior di Harvard
Kennedy School dalam karya tulisnya berjudul “Crisis Leadership: The Art of
Adapting to Extreme Event”, krisis selalu bersifat random, baru, dan
tak terduga. Dari bencana alam, krisis finansial hingga distruptive
technology, seringkali skala krisis justru tidak bisa diprediksikan
seberapa besar luaran dan dampaknya. Pandemi Covid-19, dalam hal ini lebih rasanya
lebih tepat didefinisikan oleh Departemen Dalam Negeri USA sebagai Extreme
Event, yaitu “dimana terjadi insiden oleh alam maupun manusia yang
menyebabkan tingkat korban, kerusakan atau distrupsi yang parah dan memengaruhi
populasi, infrastruktur, lingkungan, ekonomi, moral nasional dan/atau fungsi
fungsi pemerintahan”.
Dalam situasi ekstrim seperti hari ini, manajemen krisis saja tidak
cukup. Manajemen krisis dilakukan oleh manajer, mengandalkan panduan, protokol
yang terstandardisasi dalam menghadapi masalah, serta lebih sederhana karena pengendalian
sumber daya seratus persen berada di tangan organisasi. Namun bagaimana bila skala
krisis yang dihadapi mengancam ratusan juta jiwa, melibatkan ribuan pemangku
kepentingan dari berbagai organisasi dengan urgensi yang begitu tinggi dalam
tempo kurang dari dua minggu saja?
Alih alih manajer di pucuk pemerintahan, kita membutuhkan pemimpin dengan
skill kepemimpinan krisis. Pfeifer (2013) mendefinisikan kepemimpinan krisis
sebagai sebuah seni untuk membuat seluruh pihak beradaptasi dengan ketidakpastian
dengan cara membuat ruang temu untuk melakukan komando dan kontrol sehingga
masing-masing dapat berkoneksi (connect), berkolaborasi (collaborate)
dan berkoodinasi (coordinate) untuk menghasilkan nilai bagi publik (public
value). Berikut adalah penjelasan setiap poin dalam crisis leadership
model berikut:
Komando dan Kontrol (Command & Control) – Dalam situasi krisis, pemimpin harus mampu memisahkan diri dari
godaan untuk melakukan micro-management. Ia harus mendelegasikan hal tersebut
kepada manajemen yang kuat untuk segera bertindak melakukan mitigasi dan
kurasi. Pemimpin krisis yang baik justru perlu mundur sejenak, melepaskan diri
dari rutinitas dan menganalisa berbagai situasi dan solusi, dan kembali untuk
memandu dan melatih manajemen beradaptasi terhadap ketidakpastian. Waktu yang
dihabiskan harus lebih besar untuk berkoneksi, berkoordinasi dan berkolaborasi
dengan pihak lain untuk menyediakan solusi inovatif bagi penanganan krisis.
Berkoneksi (Connect) – Informasi
adalah kunci atas perspektif dan solusi, maka dalam situasi genting pemimpin
krisis perlu segera mengaktifkan jejaring dengan berbagai stakeholders demi
informasi yang lebih baik dan lengkap. Tahapan ini krusial untuk mendapatkan the
bigger picture atas krisis yang sedang dialami. Pemimpin krisis juga perlu
melihat dengan jelas siapa pemangku kepentingan yang harus diajak. Multidisiplinary
approach menjadi penting, dalam kasus covid-19 tidak hanya pakar kesehatan
yang perlu ditemui, tetapi juga pakar ekonomi, sosiologi, psikologi dan lainnya
agar sebuah krisis dapat dilihat dalam berbagai pendekatan.
Berbagai pemangku kepentingan harus dibuatkan ruang temu dengan cepat
(Hastly Form Network), lalu diberikan common operating picture
sebagai gambaran besar untuk semua orang. Hal ini dimaksudkan agar masing
masing stakeholder memahami urgensi krisis, dapat menghindari misinformasi dan
juga dapat bekerja bersama mencapai tujuan akhir.
Berkolaborasi (Collaborate) – Sebuah
krisis besar tidak akan selesai dan mampu dihadapi oleh satu organisasi saja.
Pada pemangku kepentingan dan pengambil keputusan harus bekerja sama,
berkolaborasi satu sama lain untuk menyelesaikan krisis tersebut.
Dalam situasi seperti ini, pemimpin krisis perlu membuat struktur
komando yang datar (flattening the command structure) untuk meningkatkan
kolaborasi dan kordinasi serta menghilangkan inefisiensi dalam organisasi.
Dalam struktur datar tersebut, pada pengambil keputusan dan ahli dapat diundang
untuk memberikan informasi dan memberikan insights satu sama lain.
Struktur komando yang datar memerlukan skill kepemimpinan dan negosiasi
yang sangat baik, khususnya dalam interaksi berbagai pihak dan kepentingan
dalam masa krisis. Pemimpin krisis harus memiliki kemampuan untuk bertukar
informasi, mendengarkan keluh kesah pihak lain, menyampaikan isu penting dan
berkolaborasi untuk mencapai keputusan bersama untuk menyelesaikan krisis yang
sedang dihadapi.
Berkoordinasi (Coordinate) – Koordinasi adalah proses sosial untuk membawa berbagai pihak bersama
menciptakan nilai melalui informasi dan inovasi. Dalam situasi tidak menentu,
dibutuhkan improvisasi terhadap SOP yang selama ini dilakukan (Leonard and
Howitt, 2007). Dalam stage ini pemimpin krisis perlu memberdayakan kompetensi utama
setiap stakeholder agar sumber daya dapat dengan cepat dikoordinasikan dan
disampaikan kepada publik.
FORCES OF CRISIS
Dalam memimpin dan mengambil keputusan saat krisis, proses pengambilan
keputusan tidak berada di ruang hampa. Tentu saja model crisis leadership tidak
serta merta bisa diaplikasikan. Pemimpin harus mempertimbangkan berbagai tekanan
yang memengaruhi bagaimana crisis handling dilakukan dan keputusan-keputusan
yang diambil, diantaranya:
1.
Physical
Forces: Tekanan terhadap Kondisi
fisik dalam menangani krisis, misalnya kurangnya tenaga medis menyebabkan
dokter dan perawat harus terjaga lebih lama daripada seharusnya, sehingga
menyebabkan kelelahan dan kurangnya konsentrasi – atau petugas keamanan, POLRI
dan TNI yang harus menguras tenaga lebih untuk menjaga tempat umum dan
keramaian agar tidak terjadi infeksi lebih lanjut. Pemimpin pun sebagai
personal harus tidur lebih sedikit untuk memantau perkembangan sehingga
kesehatannya terganggu. Hal ini memengaruhi pengambilan keputusan dalam situasi
krisis.
2.
Psycological
& Cognitive Forces: Tekanan
terhadap keadaan psikologis dan konitif dari pada stakeholders dan pengambil
keputusan. Tidak hanya mereka harus membuat keputusan dengan tenang, tetapi
juga tidak boleh terjebak dalam normalcy bias – sebuah kondisi dimana
menganggap sebuah persoalan bisa diselesaikan berdasarkan pengalaman di masa
lalu, dan akhirnya menganggap situasi krisis sebagai rutinitas (Kahneman,
1982).
3.
Interpersonal
& Social Forces: Tekanan
terhadap organisasi dan kondisi sosial yang tidak dimitigasi dengan baik akan
membuat distribusi informasi menjadi terhambat. Pfeizer menggarisbawahi bahaya organizational
bias dimana pengambil keputusan dan manajemen cenderung menyimpan informasi
hanya di internal organisasi, dan akhirnya kolaborasi yang diharapkan tidak
terjadi. Hal ini sangat berbahaya dalam situasi krisis yang membutuhkan banyak
pihak terlibat.
4.
Operational
Forces: Tekanan terhadap
kemampuan beroperasi organisasi yang dituntut melebihi kapasitasnya saat
krisis. Banyak pemimpin gagal dalam memahami keterbatasan organisasinya dalam 3
hal berikut
a. Capability – situasi krisis membutuhkan skill yang lebih baik daripada yang
bisa dilakukan oleh organisasi
b. Capacity – situasi krisis membutuhkan lebih banyak sumber daya daripada
yang tersedia
c. Delivery – Situasi krisis membutuhkan sumber daya lebih cepat diberikan
daripada yang organisasi dapat lakukan
5.
Political
Forces: Tekanan politik
terhadap kepemimpinan dan pemerintahan. Hal ini sangat perlu dimitigasi
mengingat tekanan ini tidak terlihat dengan gamblang namun ada banyak sekali
pihak-pihak yang menunggu kegagalan pemerintah sebagai momentum pencitraan
untuk mendapatkan modal politik dan simpati masyarakat. “Crisis is a ladder”,
ujar Peter Bailish dalam serial game of throne.
KEPEMIMPINAN
KRISIS IDEAL DI INDONESIA: SEBUAH PENGANDAIAN
Dalam kasus
Covid-19 kita bisa belajar dari China, Korea Selatan atau Taiwan dalan
penanganan krisis. Saya mulai berpikir, bagaimana ya bila Indonesia memiliki
kepemimpinan krisis yang ideal? Imajenasi saya kemudian membayangkan lebih
jauh.
Dalam dunia
paralel, saya membayangkan tepat satu hari setelah china mengumumkan kematian
pertama akibat virus corona pada tanggal 11 Januari, Presiden Joko Widodo menggelar
rapat terbatas untuk merespons kejadian tersebut. Menteri kesehatan Terawan
bersama berbagai ahli kesehatan diundang ke istana untuk memaparkan risiko
penyebaran virus ke Indonesia. Menteri Pariwisata Wishnutama mengeluarkan
travel warning untuk warga yang hendak berpergian ke china dalam waktu dekat,
mengingat turis china merupakan salah satu yang terbesar. Bandara disiagakan,
thermal detector diaktifkan.
20 Januari,
saat Amerika, Jepang, Korea Selatan dan Thailand mengumumkan ada warganya yang
tertular. Indonesia siaga satu penyebaran virus corona, seluruh pesawat dari
dan ke china dijaga ketat. Masyarakat yang mengunjungi china dalam 1 bulan
terakhir didata dan diperiksa kesehatannya.
30 Januari
2020, WHO mendeklarasikan dunia dalam status global health emergency.
Indonesia mengumumkan Badan Koordinasi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan
Virus Corona (BKNP2C). Diketuai oleh Menteri Kesehatan Republik
Indonesia, badan ini berisikan berbagai ahli, seluruh kepala daerah di
Indonesia tingkat provinsi dan kabupaten/kota, kepolisian, TNI, kampus dan
lembaga riset terbaik di Indonesia, asosiasi dokter dan pegiat kesehatan
masyarakat serta organisasi taktis dan berbagai figur filantropi. “Kami akan
memastikan masyarakat Indonesia mendapatkan perlindungan dan pelayanan
kesehatan terbaik dari negara”, ujar dr. terawan dengan raut wajah serius.
Seluruh rumah sakit disiagakan, pesawat dari negara terinfeksi ditutup rutenya
sementara.
11 Februari
2020, WHO mengganti nama Virus Corona menjadi Covid-19. Presiden Joko Widodo
bersama seluruh anggota BKNP2C menggelar pidato nasional untuk menyikapi hal
ini. Selama 30 menit, presiden memberikan informasi mendalam terkait dengan
status penyebaran di Indonesia – dimana terdapat 50 orang yang sudah terinfeksi
dan sudah dalam pengawasan pemerintah. Presiden memerintahkan kepada seluruh
jajaran pemerintah pusat, menteri dan kepala daerah untuk melakukan rapid test
Covid-19 di daerahnya dan mengajak masyarakat turut aktif mengikuti tes,
menjaga kesehatan, mencuci tangan, dan melaporkan apabila ada kolega yang
mengalami gejala terkena Virus Covid-19. BKNP2C kemudian merilis data lengkap
sebaran dan lokasi pasien yang terinfeksi kepada publik, agar masyarakat dapat
melaporkan diri apabila pernah pengunjungi tempat/melakukan kontak dengan
pasien dalam satu minggu terakhir
25 Februari
2020, Pemerintah mengumumkan 10 orang meninggal dan lebih dari 5000 pasien
terinfeksi corona. Hal ini diketahui berkat rapid test massal serta koordinasi
pusat dan daerah yang intensif. Pasien terinfeksi sudah mendapatkan penanganan
medis di 100 rumah sakit rujukan seluruh Indonesia. Masyarakat diperintahkan
untuk diam dirumah selama 2 minggu kedepan, kantor diliburkan, transportasi
umum disetop. Pelanggar karantina rumah akan ditangkap oleh polisi dan satpol
PP, dan dikenakan denda lebih dari 2 juta rupiah.
1 Maret
2020, pasien yang diketahui terinfeksi terus bertambah, namun yang sembuh pun
semakin banyak. Masyarakat bahu membahu menggalang donasi untuk disalurkan ke
tim BKNP2C. Kesadaran masyarakat akan kebersihan dan kesehatan meningkat.
15 Maret
2020, untuk pertama kalinya jumlah pasien yang sembuh lebih banyak yang
terinfeksi. BKNP2C memberikan keterangan publik bahwa hal ini merupakan awal
kemenangan bersama seluruh rakyat Indonesia. Tim akan terus berjuang hingga
Virus Covid-19 diberantas habis dari Indonesia.
*****
Setelah
menulis skenario paralel diatas, saya membayangkan raut wajah Mas Ainun Najib
kembali. Seandainya hal tersebut terjadi, beliau pasti tidak membuat
#kawalCovid19. Beliau akan menjadi bagian dalam tim BKNP2C, memberikan segenap
usahanya untuk masyarakat Indonesia sembari berujar
“Saya
bangga memiliki pemimpin di Indonesia”.
Sayang
sekali, seandainya saja.
SELESAI
PRANALA
·
Pfeifer, Joseph W.. “Crisis Leadership : The
Art of Adapting to Extreme Events.” (2013).
·
PAN, Shan Ling; PAN, Gary; and DEVADOSS, Paul R..
E-Government Capabilities and Crisis Management: Lessons from Combating SARS in
Singapore. (2005). MIS Quarterly Executive. 4, (4), 385-397. Research
Collection School Of Accountancy.
Comments
Post a Comment
Comment adalah sebagian dari iman :D