Skip to main content

KRITIK TIDAK PERLU KARYA; KRITIK ADALAH KARYA!


Saya mau bahas soal kritik, dan opini saya tentang kata panas ini.

Jadi, hari ini saya sedang mengikuti bagaimana Baskara, vokalis dari Feast/Hindia dikeroyok oleh netizen dari berbagai sisi. Pasalnya Baskara bicara dalam sebuah forum diskusi dan mengatakan bahwa "Lagu Peradaban lebih kerasa daripada musik metal manapun". Internet bergemuruh, warga +62 maha benar mulai memberikan komentarnya dari pembelaan hingga pencacian. Saya tentu senang berada dalam situasi riuh seperti itu. Katanya Tuhan menciptakan dua tangan dan satu mulut, maka tentu jangan diselesaikan dengan baik baik.

Nggak ding, bercanda. Internet dan sosial media memang hiburan paling sederhana dan menyenangkan.

Namun sialnya hiburan tersebut dirusak oleh seseorang bernama Kevin. Ia memberikan argumen yang menurut saya sungguh meresahkan iklim diskusi di ruang publik. Berikut screen capture nya:


Terlihat seseorang sedang mengkritik baskara dengan opini "Lagu lu kaga ada kerasnya bor, cuma indie ngantukan doang". Lalu tersangka bernama kevin ini tiba-tiba masuk ke arena dan berkata,

"emangnya lo nyiptain lagu apa?"

BAM
Saya geram, dan lebih geram daripada bass musik metal. Dear Kevin, pengguna internet dan penikmat demokrasi warga 62, berikut saya jelaskan kenapa komentar kamu sangat menyebalkan bagi saya

KRITIK ADALAH HAK


Bagi semua orang, tidak terkecuali, mengeluarkan pendapat adalah hak asasi manusia. Tentu berbeda di beberapa negara lain yang tidak mengakomodasi konsep free speech, namun di Indonesia, kebebasan berpendapat adalah hak yang asasi serta dijamin oleh negara. Walaupun saya sedang dalam fase tidak memercayai negara yang menjamin hak itu, tapi percayalah Indonesia meratifikasi konvensi hak asasi manusia dan disaksikan oleh seluruh dunia.

KRITIK TIDAK PERLU KARYA!


Nah, mental ini yang perlu dibenahi. Anda kira, kalau kita mau mengkritik presiden kita perlu berkarya dulu membuat kebijakan, undang-undang dan program skala nasional? Anda kira kalau kita mau mengkritik guru, kita harus mengajar dan mengabdi dulu puluhan tahun? Jawabannya tidak. Kritik adalah kritik. Ia bebas dan lepas dari kewajiban apapun. Selama kritik yang anda buat on point dan tidak mengandung logical fallacy (ini akan saya bahas di artikel berikutnya), maka anda SAH mengkritik siapapun dengan argumen apapun.

Tapi kan tidak konstruktif?

Oh benar. Tapi siapa yang membuat aturan kritik harus konstruktif? Saya dengan bebas bisa mengkritik masakan chef arnold tanpa perlu bisa membuat steak wagyu A5 sekelas beliau. Kalau nggak enak, ya nggak enak. Kalau berantakan, ya saya kritik platingnya. Kalau dagingnya keras, ya saya kritik durasi masaknya.

KRITIK ADALAH KARYA YANG HARUS DIBUDAYAKAN


Saya melihat kritik sendiri adalah sebuah karya - bahkan seni - yang harus dihargai. Anda kira gampang membuat kritik yang baik? Menyusun argumen tidak semudah yang dibayangkan. Kita harus memahami topiknya, menyusun data dan sasaran, serta membuat kalimat yang tepat dalam membantai lawan bicara. Kritik yang baik menurut saya BUKAN yang memberikan solusi, tapi yang memberikan data dan landasan pendapat yang kuat serta bisa menguliti topik yang sedang dibahas.

Lebih jauh lagi kritik adalah kebiasaan yang harus terus menerus dibudayakan. Indonesia sayangnya tidak terbiasa dengan kritik terbuka, semua dianggap menyerang personal (ad hominem), padahal kritik yang diterima dengan baik dan dibudayakan akan membuat iklim diskusi dan dialog menjadi hidup. Continous improvement akan tercipta dan produk produk intelektual akan lebih tajam dengan adanya kritik pedas.

Jadi, Kevin, setop menagih karya orang lain dan mulailah belajar melihat kritik sebagai budaya peradaban. Nih, bonus lagu Hindia Junjunganmu!

Karena peradaban berputar abadi
Kebal luka bakar tusuk atau caci maki
Karena kehidupan tidak ternodai
Maknanya jika kau tak sepaham dengan kami

Comments

Popular posts from this blog

Bagaimana Bisa - Tiga Pertanyaan untuk Kita dan Semesta

Bagaimana bisa aku bisa menulis rangkuman masa lalu , bila setiap detik yang berlalu menjadi ceritanya sendiri? Tulisanku berkejaran dengan memori yang terus terbentuk, terbentuk, terbentuk, lalu terbentur dengan kecepatan jariku merekam setiap kenangan dalam tulisan. Aku hanya ingat samar samar wajah letih seorang perempuan di taman anjing itu, berjalan menyusuri lorong panjang diantara kedai kopi dan pizza, lalu mendekat memanggilku dari belakang. Hmm, sosok yang familiar, namun terasa asing setelah mungkin dua-tiga tahun mengikuti sepak terjangnya di dunia maya. Apa yang aku bisa ingat? Perawakannya yang tinggi putih dengan kacamata besar, pakaiannya cukup manis melengkapi alis ulat bulu dan bibirnya yang tebal. Sisanya, ingatanku memudar seperti lipstiknya kala itu. Mungkin yang sedikit bisa aku ingat adalah caranya bicara dan mendengarkan. Tentang bagaimana ia percaya bahwa produk Apple lebih superior dibandingkan merek gawai lain, tentang kesulitan tidurnya dan apa akar masalahny

Trade off dan Oportunity cost dalam kehidupan

Hahahahahahaa what a nice function! Sering kali kita, para lelaki, menganggap bahwa wanita itu adalah suatu masalah. yap! Ada yang bilang mereka itu banyak maunya, minta beli ini, minta jemput, minta ditelpon, diisiin pulsa, diajak malming...dan masih terlalu banyak 'tuntutan' lainnya. Wanita itu lemah, harus 24 jam dijaga nonstop! Bahkan ada tipe wanita yang overposessif, sampai2 trima sms dari temen aja harus lapor max 1x24 jam! hmm..gw jadi mikir, dan cukup flashback sama pengalaman pribadi..Ternyata emang setiap cowo mempertimbangkan semua hal untuk menggebet cewe idamannya, nggak cuma faktor intern but also extern. Disinilah muncul hukum ekonomi, "Trade Off" dan "Opportunity Cost". Nggak ada yang lo bisa borong di dunia ini(Walaupun bokap lo muntah duit) Uang bukan segalanya, karena nggak semua permasalahan di dunia ini bisa lo selesaiin dengan duit. seperti yang satu ini: MISAL: Ini surti dan ngatiyem Kita ngomongin 2 cewek diatas, Surti

Get Out of the Model!

Pernah ke hypermart ITC Depok? Kalau belum, cobalah. Naik ke lantai 2, lalu naik eskalator dalam hypermart. Anda akan menemukan keadaan seperti ini di eskalatornya. Sekilas nampak berantakan. Tapi coba lihat lebih dekat What? Chiki? Iya. Cemilan dalam kemasan (entah namanya apa). Ratusan hingga ribuan snack ditumpahkan ditengah, kiri dan kanan eskalator yang sedang berjalan. Terlihat mereka yang menggunakan eskalator excited dan mulai menyentuh berbagai merek sepanjang perjalanan. Sebagian terlihat mengambil dan langsung memakannya.  Menurut saya ini cerdas. Sangat cerdas. Low-cost innovation untuk meningkatkan customer experience yang tepat guna. Hypermart berhasil mempertemukan konsumen primer snack ringan - anak kecil dan remaja - dengan eskalator yang dikategorikan sebagai ruang publik yang menyenangkan (playful) bagi konsumen tersebut. Apakah inovasi harus mahal? Apakah promosi untuk meningkatkan experience harus bermodal ratusan juta-milyaran rupi