Skip to main content

Bagaimana Bisa - Tiga Pertanyaan untuk Kita dan Semesta

Bagaimana bisa aku bisa menulis rangkuman masa lalu, bila setiap detik yang berlalu menjadi ceritanya sendiri? Tulisanku berkejaran dengan memori yang terus terbentuk, terbentuk, terbentuk, lalu terbentur dengan kecepatan jariku merekam setiap kenangan dalam tulisan.

Aku hanya ingat samar samar wajah letih seorang perempuan di taman anjing itu, berjalan menyusuri lorong panjang diantara kedai kopi dan pizza, lalu mendekat memanggilku dari belakang. Hmm, sosok yang familiar, namun terasa asing setelah mungkin dua-tiga tahun mengikuti sepak terjangnya di dunia maya. Apa yang aku bisa ingat? Perawakannya yang tinggi putih dengan kacamata besar, pakaiannya cukup manis melengkapi alis ulat bulu dan bibirnya yang tebal. Sisanya, ingatanku memudar seperti lipstiknya kala itu.

Mungkin yang sedikit bisa aku ingat adalah caranya bicara dan mendengarkan. Tentang bagaimana ia percaya bahwa produk Apple lebih superior dibandingkan merek gawai lain, tentang kesulitan tidurnya dan apa akar masalahnya. Sementara ia sibuk membangun argumen, otakku justru kehilangan fokus dan bertanya; “perasaan nyaman apa ini? Mengapa rasanya ada yang tumbuh dalam setiap percakapan?

Waktu cepat berlalu, matahari tenggelam dan terbit silih berganti – namun tidak dengan pertemuan kami. Sejak itu, kami seperti tak dapat mengendalikan diri untuk terus bertemu dan bercerita satu sama lain. Aku masih bisa membayangkan senyum awkward nya kala kami pertama berpegangan tangan, kesedihannya tentang runtutan perpisahan yang dilaluinya, atau kemarahannya soal ketidakadilan di sekitar kita. Lambat laun aku paham, bahwa neng ditha - panggilannya di rumah - tak pernah bercanda soal perasaan.

Baginya, logika adalah akar, rasa adalah batang, dan aktifitas adalah ranting ranting bagi setiap cabang kehidupannya. Tak ada ranting yang tumbuh tanpa rasa, tak ada rasa yang muncul tanpa logika. Di tengah hutan tropis dengan berbagai macam jenis mahluk hidup dan ekosistemnya, aku masih tak percaya dapat bertemu dengan spesies yang nyaris identikal dalam banyak hal. Keluarga yang hangat dan harmonis, anak pertama dengan dua adik, kelas sosial yang sama, cara berpikir yang searah. Kemiripan ini entah sebuah berkah, atau tragedi di kemudian hari.

Mungkin semesta ingin bercanda, atau justru tega membenturkan kami yang akan berpisah kelak kemudian hari?

***

Bagaimana bisa aku bisa menjalani hari ini, bila kini aku dan dia bukan lagi dua pohon yang tumbuh terpisah seribu meter jauhnya? Enam puluh hari kemudian, akar kami mulai mendekat, batang kami melekat dan melilit, bahkan ranting yang semula tumbuh jauh kini mulai tidak bisa dibedakan. Hari ini, tepat di hari ulang tahunnya, aku melihat sosok yang mungkin saja akan kulihat selama enam puluh tahun kedepan, setiap malam.

Lucu bahwa aku tidak pernah seyakin ini tentang perempuan dan masa depan. Tentang kehidupan bersama selamanya dalam bingkai adat masyarakat modern, tentang jodoh dan garis tangan, tentang tulang rusuk yang kelak akan bersatu kembali. Sejak bertemu makhluk ajaib ini, kini lelucon ini tak lagi lucu. Setiap interaksi menjadi imajinasi, obrolan menjadi impian, rayuan menjelma angan angan. Kami menilai kebahagiaan dan emosi dengan metrik yang berbeda, dirangkum dalam satu pertanyaan besar: “apakah ia layak menjadi pasanganku kelak?” 

Umurnya bertambah bertepatan dengan rambutnya yang dipangkas berkurang, seperti keyakinanku yang bertambah kala satu demi satu penilaian kami yang terselesaikan. Perkenalan ini memang singkat, tapi bagaimana jika waktu bukanlah satuan yang tepat dalam menilai kualitas hubungan?

Hari ini, saat ini, aku menyisakan sedikit ruang untuk ragu; pada kebersamaan dan keberlanjutan kita, pada amarah dan benci yang pasti akan hadir sewaktu-waktu, pada jarak yang mungkin merenggangkan, pada prinsip yang kan terbuka berbeda, pada kompromi yang harus dimaklumi dan pada umur yang kelak memisahkan jalur.

Semesta mungkin jenaka, tapi kuharap tidak sebercanda ini.

***

Bagaimana bisa aku bisa menyusun rencana masa depan, bila hidupku kini bergantung pada seseorang yang baru mengenalku November lalu? Padanya kutitipkan masa depan seorang pemuda yang telah lama berpetualang di alam liar, mencoba asam getir, manis asin rasa kehidupan, kemudian bertambat pada satu jalur lurus bersama.

Pada perempuan ini kutitipkan visi dan pikiranku. Pada akar yang berpegang kuat pada logika dan rasionalitas,sebagai fondasi untuk menjulang tinggi bersama, saling berpegang dan menguatkan kala angin semakin kencang. Sebagai paku bumi yang tak lupa dari mana kita berasal, dimanapun akan berkarya. Mimpi mimpi besar, pencapaian diri dan ego, kelak kan kudedikasikan untuk seorang saja - atau lebih besar: keluarga kecil kita.

Pada mahluk ini kutitipkan perasaanku, cinta dan benciku. Semua emosi yang kukenali maupun tidak, terkendali ataupun tak terduga. Amarah yang akan hadir mungkin menyakitkan. Cemburu yang datang pasti akan menyusahkan. Inilah aku dan ketidaksempurnaanku, hadir dalam satu rangkaian bersama dengan bahagia yang kan ia terima. 

Pada Andhyta Firselly Utami kutitipkan janjiku. Untuk berjalan lebih jauh, berlari lebih cepat, bertumbuh menjadi manusia yang lebih baik. Untuk menjadi stabil dan pasti, menjadi kastil untuk pulang, mengobati luka tusuk setelah seharian berperang habis habisan. Untuk jujur dan terbuka pada semua hal. Untuk menjadi vulnerable. Untuk menjadi manusia seutuhnya. Untuk "menemukan kebahagiaan sejati", begitu istilah yang ia buat.

Pada semesta kutitipkan asa ini. Untuk menjadi serius, walau sedikit saja.

Sedikit saja. Tolong, boleh ya?

ara & afu

Love, 

ara

Comments

Popular posts from this blog

Trade off dan Oportunity cost dalam kehidupan

Hahahahahahaa what a nice function! Sering kali kita, para lelaki, menganggap bahwa wanita itu adalah suatu masalah. yap! Ada yang bilang mereka itu banyak maunya, minta beli ini, minta jemput, minta ditelpon, diisiin pulsa, diajak malming...dan masih terlalu banyak 'tuntutan' lainnya. Wanita itu lemah, harus 24 jam dijaga nonstop! Bahkan ada tipe wanita yang overposessif, sampai2 trima sms dari temen aja harus lapor max 1x24 jam! hmm..gw jadi mikir, dan cukup flashback sama pengalaman pribadi..Ternyata emang setiap cowo mempertimbangkan semua hal untuk menggebet cewe idamannya, nggak cuma faktor intern but also extern. Disinilah muncul hukum ekonomi, "Trade Off" dan "Opportunity Cost". Nggak ada yang lo bisa borong di dunia ini(Walaupun bokap lo muntah duit) Uang bukan segalanya, karena nggak semua permasalahan di dunia ini bisa lo selesaiin dengan duit. seperti yang satu ini: MISAL: Ini surti dan ngatiyem Kita ngomongin 2 cewek diatas, Surti

Get Out of the Model!

Pernah ke hypermart ITC Depok? Kalau belum, cobalah. Naik ke lantai 2, lalu naik eskalator dalam hypermart. Anda akan menemukan keadaan seperti ini di eskalatornya. Sekilas nampak berantakan. Tapi coba lihat lebih dekat What? Chiki? Iya. Cemilan dalam kemasan (entah namanya apa). Ratusan hingga ribuan snack ditumpahkan ditengah, kiri dan kanan eskalator yang sedang berjalan. Terlihat mereka yang menggunakan eskalator excited dan mulai menyentuh berbagai merek sepanjang perjalanan. Sebagian terlihat mengambil dan langsung memakannya.  Menurut saya ini cerdas. Sangat cerdas. Low-cost innovation untuk meningkatkan customer experience yang tepat guna. Hypermart berhasil mempertemukan konsumen primer snack ringan - anak kecil dan remaja - dengan eskalator yang dikategorikan sebagai ruang publik yang menyenangkan (playful) bagi konsumen tersebut. Apakah inovasi harus mahal? Apakah promosi untuk meningkatkan experience harus bermodal ratusan juta-milyaran rupi